Frasa merdeka belajar saat ini tidak hanya ramah di telinga pihak penggerak roda pendidikan. Frasa tersebut juga mulai sering keluar di pembicaraan masyarakat secara umum baik sebagai candaan maupun sebagai respons positif atas gerakan yang besar ini. Hal tersebut tak perlu dinilai baik atau buruk. Akrabnya frasa merdeka belajar di masyarakat bisa dipandang sebagai suksesnya pemerintah untuk menyosialisasikan program yang mengubah sudut pandang dunia pendidikan Indonesia ini.
Sejak pertama muncul, program merdeka belajar memang mendapat sorotan. Sorotan tersebut lebih karena masyarakat fokus pada kata merdeka yang diasumsikan bebas tanpa diatur. Dengan asumsi seperti demikian, muncul pemikiran bahwa anak-anak akan bebas melakukan apa saja di sekolah sesuai kemauan mereka. Apakah pandangan tersebut salah? Pandangan tersebut benar. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi, siswa bebas mengekspresikan apa yang menjadi minat mereka untuk dituangkan ke dalam materi atau tugas yang diberikan oleh guru. Sehingga, pendidikan tidak lagi berpusat kepada guru, melainkan kepada siswa. Menurut Risanosanti (2022), bakat dan minat dari siswa merupakan hal yang seharusnya menjadi landasan dalam pendidikan saat ini. Bakat merupakan potensi yang dimiliki masing-msing individu yang dibawa sejak lahir. Sedangkan, minat merupakan dorongan yang berasal dari dalam diri seseorang yang dapat menimbulkan ketertarikan atau perhatian secara selektif yang akhirnya akan menimbulkan perasaan yang menyenangkan.
Sebagai salah satu contoh, untuk pembelajaran Bahasa Indonesia materi pidato persuasif kelas IX siswa diperbolehkan membuat pidato berdasarkan minatnya atau memosisikan diri sebagai cita-citanya. Ada salah satu siswa yang sangat berminat dengan sepak bola. Siswa tersebut bercita-cita sebagai manajer tim sepak bola. Siswa tersebut kemudian membuat sebuah pidato tentang sikap sportifitas di dalam pertandingan. Siswa lain boleh menyampaikan pidato persuasif tentang pariwisata di dekat rumahnya, menolak tindak perundungan dan lain-lain. Hal di atas merupakan mengaplikasikan diferensiasi konten. Tujuan dari deiferensiasi konten adalah siswa menjadi berani mengungkapkan pendapat, siswa percaya diri menyampaikan hal yang diminati, dan mereka juga mendapatkan rasa bangga karena dapat mengungkapkan hal tersebut di depan teman-temannya tentu dengan dampingan guru.
Dengan program merdeka belajar, dunia guru akan semakin berwarna karena mendapat kejutan-kejutan dari bakat dan minat siswa yang mungkin selama ini belum dikenali. Guru tentu perlu banyak belajar dalam hal ini karena seperti kita tahu setiap siswa memiliki karakter, bakat, dan minat yang berbeda. Tugas guru adalah memastikan bahwa merdeka belajar dapat dirasakan oleh semua siswa termasuk siswa berkebutuhan khusus.
Menurut H. Sudardjo, M.Pd. (Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia) anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya. Anak dikatakan berkebutuhan khusus jika ada sesuatu yang kurang atau bahkan lebih dalam diri anak tersebut. Pernyataan tersebut menyadarkan kita bahwa ABK tidak hanya siswa yang memiliki kesulitan dalam belajar karena kurangnya kemampuan, tapi juga siswa yang memiliki kemampuan lebih sehingga dia memerlukan wadah yang lebih besar dan pengetahuan lebih luas yang mungkin tidak dia dapat di kelas.
Dari kesadaran perbedaan karakter siswa, munculah pendapat bahwa sekolah harus menjadi sekolah ramah anak dengan program sekolah inklusif. Sekolah inklusif sebagai salah satu upaya mewujudkan Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Jika sebelumnya kita sudah membahas tentang merdeka belajar, anak berkebutuhan khusus juga harus merasakan indahnya merdeka belajar dengan percaya diri menjadi diri sendiri.
Dalam melaksanakan sekolah inklusif, tentu tidak serta merta dapat berjalan dengan lancar dan baik. Banyak hal yang perlu dipelajari oleh sekolah, guru, dan siswa. Menurut Permendiknas nomor 70 tahun 2009 mengenai pendidikan inklusif pada pasal 8, pembelajaran pada pendidikan inklusif mempertimbangkan prinsip-prinsip pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik siswa. Hal tersebut dikuatkan juga dengan undang-undang nomor 8 tahun 2016 pasal 10 poin d tentang penyandang disabilitas mendapatkan akomodasi yang layak sebagai peserta didik. Kerja sama saling memahami dan melindungi harus dilakukan oleh sekolah, guru, dan siswa agar tidak terjadi diskriminasi kepada siswa ABK baik berkebutuhan khusus maupun berkebutuhan layanan khusus.
Sekolah harus mempersiapkan mental sebelum melaksanakan pendidikan inklusif. Kesiapan mental berupa penerimaan dan empati terhadap siswa ABK. Hal tersebut penting dipersiapkan di awal untuk menumbuhkan rasa kemauan berbagi dan rasa kebersamaan. Persiapan mental dapat diawali dengan sosialiasi program pendidikan inklusif. Sebagai contoh, PGRI Kabupaten Kediri dengan mengadakan parade webinar dengan salah satu materi tentang sekolah inklusi yang disampaikan oleh Heri Mujiono, M.Pd. Kegiatan ini dapat dijadikan pintu masuk bagi sekolah untuk memahamkan betapa pentingnya pendidikan inklusif.
Persiapan selanjutnya adalah guru. Ketika sekolah memutuskan untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif, hendaknya guru menjadi terpanggil sebagai pengajar dan pendidik. Asah kemampuan kognitif dan sosial bahwa siswa ABK juga berhak mendapatkan perhatian dan bimbingan dari guru secara maksimal. Sebagai guru, hal pertama yang harus dilakukan dalam menjalankan pendidikan inklusif adalah dengan melakukan identifikasi. Identifikasi adalah proses menemukenali kebutuhan dan kondisi siswa sebelum pembelajaran dimulai. Selanjutnya guru berupaya untuk mengetahui kesulitan atau hambatan siswa dalam belajar sehingga dapat menemukan solusi yang tepat untuk siswa.
Terakhir dan dapat dikatakan paling penting adalah persiapan siswa reguler. Tanamkan kepada siswa reguler bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan keunikan masing-masing. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, kita harus senantiasa menghargai dan saling membantu bukan merendahkan.
Pendidikan inklusif dipadukan dengan merdeka belajar. Dapatkah Anda membayangkan betapa indahnya dunia pendidikan Indonesia di masa depan? Anak-anak tumbuh percaya diri menyampaikan pendapat. Anak-anak saling menghargai dengan temannya yang berkebutuhan khusus. Anak-anak berkebutuhan khusus juga lebih percaya diri dengan keadaannya sehingga mendorongnya untuk lebih mandiri.
Merdeka belajar mengembalikan anak kepada kodratnya. Siswa ABK juga merupakan anak-anak yang harus difasilitasi semua haknya. Dengan merdeka belajar, jangan lagi jadikan disabilitas khususnya siswa ABK sebagai objek motivasi untuk manusia-manusia normal. Anggap mereka sebagai manusia normal yang memiliki hak, kewajiban, dan harapan hidup layak yang sama.
Tulisan ini mendapatkan Juara Harapan 3 Teacher Writing Competition tahun 2022 oleh Febriana Tri Utami, S.Pd.
Komentar Terbaru